Selasa, 20 Juli 2010

Profil PDPK

Persekutuan Diakonia

Pelangi Kasih (PDPK)

Alamat kantor Pusat

Lumban Pisang Kecamatan Siborongborong

Tapanuli Utara- Sumatera Utara Indonesia



Alamat Kantor Cabang

Jl. Gereja No. 78 Parongil

Kec. Silima Punggapungga

Kab. Dairi –Sumatera Utara Indonesia


Email: pel_kasih@yahoo.com

Gambaran Umum PDPK

Persekutuan Diakonia Pelangi Kasih (PDPK) Didirikan pada 16 September 1993 dengan Akta Notaris No. 32/Akte/1993/PN. Persekutuan ini merupakan sebuah wadah untuk mewujudkan aksi pelayanan Diakonia ditengah-tengah jemaat dan masyarakat yang didirikan oleh beberapa Diakones yang tergabung dalam satu wadah yang bernama Ikatan Diakonia Wanita (IKADIWA) .

VISI

Mewujudkan kesejahteraan, keadilan bagi perempuan, anak dan kaum papa serta mewujudkan keadilan ekologi

MISI

Diakonia untuk kesejahteraan, keadilan bagi manusia di bumi yang lestari

NILAI

® LUKAS 4:18-19:

ROH Tuhan ada padaku oleh sebab Ia telah mengurapi aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tahanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang

® Lukas 18:1-8

Perempuan yang dikuatkan dan diberanikan oleh Tuhan Yesus Kristus dalam proses penegakan keadilan

® Matius 10:13-16

Anak-anak yang dibebaskan oleh Tuhan Yesus Kristus

DAYA DORONG UTAMA:

Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan biah dan buah mu tetap supaya apa yang kamu minta kepada bapa dalam namaKu diberikannya kepadamu. Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seseorang akan yang lain

(Yohanes 15:16-17)

BIDANG HASIL POKOK

§ Anak anak yang kreatif, mandiri, cerdas dan beriman

§ Perempuan yang kritis, berpotensi dan setara dalam keluarga serta masyarakat

§ Masyarakat yang sadar memelihara dan meningkatkan kesehatan

§ Lingkungan hidup dan ekologi yang lestari

§ Masyarakat mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan

BIDANG KEGIATAN UTAMA

§ Pendidikan anak-anak di desa

§ Pemberdayaan perempuan dan kesetaraan Gender

§ Kesehatan Masyarakat

§ Lingkungan Hidup

§ Pengembangan Ekonomi Rakyat

UNIT-UNIT PELAYANAN PDPK

1.SPA (Sarana Penitipan Anak) di Siborong-borong

2.TK di Siborong-borong, Lagu Boti, dan Tarutung

3.Program Pendampingan dan Penguatan Organisasi Perempuan di Pertambangan Sopo Komil-Dairi



Badan Pendiri:

1. Diakones N.D Gultom

2. Diakones B. Hutabarat

3. Diakones Rosmauli Hutahaean,Mmis

4. Diakones Serepina Sitanggang, MRE

5. Diakones D. Samosir

6. Diakones Setiawan Hutahaean

7. Diakones Dra. Delviana Naibaho


Rabu, 07 Juli 2010

Ekotheologi

EKO-TEOLOGI KRISTIANI

“Jangan berani menyebut diri Kristen atau Pengikut Kristus,
kalau tidak berani membela dan mempertahankan Keutuhan Ciptaan”


Kita berhadapan dengan realitas paradoksal saat ini. Di satu pihak, selalu didengung-dengungkan bahaya pemanasan global, yang akan mengakhiri keberadaan planet bumi serta makhluk dan isinya, di pihak lain aktivitas penggundulan planet (deforestrasi dan pertambangan) makin ekspansif, tidak peduli dan bahkan dibiarkan. Tgl 30 Januari dalam Kolom KOMPAS Mohammad Chalid menurunkan artikel berjudul: “Penghancuran Terpimpin”. Artikel itu mempertegas realitas paradoksal tadi dalam dunia pertambangan. Chalid menulis: “Kehancuran ekologis, penggurunan, serta peminggiran dan pemiskinan penduduk lokal adalah karakter merusak yang melekat pada perilaku industri tambang, yang populer disebut daya rusak tambang. Industri tambang boleh dibilang anak emas kebijakan pengurusan negara dari rezim ke rezim, tergolong sebagai industri vital dan strategis”.
Benar-benar paradoks. Merusak secara ekologis dan memiskinkan masyarakat, tetapi dijadikan anak emas, industri vital dan strategis”. Yang merusak lingkungan dan memiskinkan rakyat, itulah yang vital dan strategis. Artinya, kalau merusak ekologi dan memiskinkan rakyat itulah pilihan kebijakan strategis dan vital. Lantas apakah negara ada untuk mengatur agar manusia saling menghancurkan, “the survival of the fittest?, suatu darwinisme sosial yang dipilih sebagai fundasi kebijakan demi kemashlatan banyak orang?
Ketika berdiskusi tentang masa depan negara yang akan segera merdeka Bung Karno di depan Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengajukan pertanyaan refleksif: “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan,cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku olehIbu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”(Bung Karno) . Yang jelas kita semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Pertanyaan kita adalah di mana kita orang Kristen menemukan tempat dan peluang strategis serta vital bagi kepedulian, keterlibatan dan upaya-upaya nyata membela dan menjaga keutuhan ciptaan, yang berarti membela dan menjaga kehidupan serta ciptaan Allah, di tengah arus deras rezim perusakan lingkungan alam yang nyaris tak dapat dibendung? Apakah masih ada pengikut Kristus yang peduli dan ingin bertindak?


Melawan Sesat Pikir Masa Silam
Sejarah peradaban barat, yang dijiwai spirit kekristenan, merupakan sejarah penaklukan dunia dan alam, ke bawah kuasa manusia. Cornelis van Peursen menelisik perkembangan peradaban dan kebudayaan sebagai suatu proses linear yang bergerak melalui tiga tahap budaya: mitis, ontologis dan fungsional. Peradaban masa kini mencapai tahap fungsional: dunia dilihat sebagai benda material yang memiliki fungsi melayani kebutuhan manusia. Dunia dengan segala isinya ada untuk manusia, melayani kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia yang nyaris tanpa batas, menyebabkan ekspansi dan eksploitasi alam tanpa batas, seolah--olah alam menyediakan kebutuhan manusia secara tak terbatas. Nyatanya tidak, ketersediaan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Hanya satu yang terbatas, tetapi bukan alam, bukan manusia.
Sekurang-kurangnya dua tokoh, yang pernah mempersalahkan Gereja dan tulisan Kitab Suci Kristiani, sebagai cikal-bakal atau provokator utama kerusakan alam. Mereka adalah Lynn white dan Roderick Nash . Salah satu point yang dikritik, terutama oleh Lynn White adalah teks Kejadian 1:28 yang berbicara tentang mandat atau kekuasaan yang diterima manusia untuk berkuasa atas bumi dan segala isinya. Perdebatan tentang teks KS tentu lebih merupakan komptensi para ahli Kitab, tetapi satu hal yang tidak dapat kita ingkari adalah bahwa Gereja selama berabad-abad mengabaikan studi tentang ciptaan . Keasyikan utama Gereja selama berabad-abad lebih tercurahkan pada pokok-pokok doktriner seperti soteriologi, kristologi, eklesiologi, dogmatik dll. Referensi teologis, terutama KS lebih mengacu kepada KS teks Yunani dan bukan teks klasik Hibrani. Lebih dari itu, sikap Gereja tidak dilandasi pada studi dan analisis komprehensif tentang KS, tetapi lebih selektif, argumentatif dan apologetik.
Lepas dari kekurangan di atas, harus diakui juga bahwa isyu tentang krisis ekologi adalah isyu yang relatif baru. Tulisan yang mengingatkan akan bahaya ekologis muncul pertama kali tahun 1948 dari Fairfield Osborn , menyusul byuku dari Rachel Carson (1962) dan tulisan Lynn White 1967. Dunia pada saat karya-karya tersebut diluncurkan dunia (dan Gereja) sedang berjuang memulihkan ekonomi pasca Perang Dunia II dan politik pembangunan serta perkembangan, yang dimulai akhir tahun 1950-an. Upaya pembangunan ekonomi demi kesejahteraan hidup manusia ditandai oleh pendekatan yang fungsional dan eksploitatif terhadap alam. Alam tidak saja dikuras, tetapi juga diracuni dengan bahan-bahan serta pestisida kimia untuk memacu optimalisasi hasil pertanian di bawa bendera Revolusi Hijau.
Seluruh sikap dan perilaku eksploitatif terhadap alam dipicu oleh kesadaran diri manusia sebagai tuan atas ciptaan, menjalankan mandat Ilahi yang berpusat pada kepentingan manusia, antroposentrisme: bukan alam (ekosentrisme) dan bukan Allah Pencipta (teosentrisme), tetapi manusia adalah pusat, betulkah? Tidak, antroposentrisme adalah suatu sesat pikir masa silam
Kerusakan ekologi, kepunahan species, pemanasan global yang mendera dan mengancam keberadaan seluruh planet saat ini, mendorong, pembaharuan total paradigma lama, bahwa manusia bukan tuan dan pusat, tetapi dia adalah bagian atau salah satu elemen dari ciptaan dan hidupnya bergantung total pada ciptaan. Ada pelbagai tawaran paradigma baru seperti ekosentrisme dan biosentrisme. Tetapi baik diingat setiap “centrisme” – selalu berarti mengingkari keberadaan makhluk lain yang sejatinya hidup dalam suatu tatanan mata rantai kehidupan alam yang disebut eco-system.
Teologi Kristiani justru ditantang saat ini, untuk menawarkan refleksi teologis yang biblis-komprehensif, suatu eco-theology, untuk membuka cakrawala baru sekaligus refleksi alternatif, yang pada gilirannya mengisi pemahaman dan kesadaran manusia akan tempat dan perannya dalam alam semesta, sehingga suatu era paradigma baru dalam relasi dengan alam dapat mulai bersemi. Ada sejumlah tema teologis yang dapat dielaborasi, seperti hubungan Allah dan Ciptaan serta Manusia dan Ciptaan; Yesus Kristus Pusat dan Tujuan Segala Sesuatu ; Roh Pencipta, Pemberi Hidup; Ekologi Inti Iman Kristiani.
Untuk kesempatan sekarang ini saya hanya ingin mendalami sejumlah tema: (1) Iman akan Allah Pencipta dan Konsekuensinya Pada Hidup Manusia, (2) Yesus Kristus Pusat dan Tujuan Segala Sesuatu, (3) Gereja dan Persoalan Ekologi Kontemporer.
1. Iman Akan Allah Pencipta dan Konsekuensinya Pada Hidup Manusia
Kendati sampai saat ini, refleksi tentang ekologi masih dihubungkan dengan mandat dominatif yang diterima manusia atas ciptaan, berdasarkan Kej 1:28; para teolog dan ahli Kitab memulai haluan lain, yakni merefleksikan ekologi dalam satu kesatuan refleksi mengenai Allah sebagai Pencipta. Artinya, refleksi tentang ciptaan tidak boleh dilepas-pisahkan dari refleksi tentang Pencipta. Kalau mau mencermati lebih dalam, seluruh kesaksian alkitabiah berciri dasar ’teosentris’, sehingga refleksi tentang apapun, apalagi tentang ciptaan, tidak dapat dilepaskan dari Allah Sang Pencipta. Westermann menegaskan: Perjanjian Lama secara keseluruhan dan dalam bagian-bagiannya berbicara tentang Allah .
Berbeda dengan Dewa-Dewi bangsa kafir, Allah menciptakan segala sesuatu dengan “bersabda”. Allah melampaui segala yang diciptakannya dan Allah menciptakan segala sesuatu “tanpa keringat” – jadi alam semesta tercipta oleh Sabda Yang Mencipta (Creative Word), sehingga ciptaan jelas-jelas berbeda dengan Penciptanya. Ciptaan bukan suatu emanasi, juga bukan manifestasi kekuasaan dan kekuatan yang ilahi secara mitis . Langdon Gilkey mengemukakan bahwa tak ada satu ciptaan pun yang berbagi keilahian dengan Allah, seolah-olah Allah terbagi-bagi dalam unsur-unsur yang kemudian terwujud dalam ciptaan. Perbedaan antara Allah dan ciptaan adalah akibat dari tindakan kreatif Allah, bukan karena kejatuhan manusia atau akibat dosa. Karena Allah itu transenden maka dengan sendirinya terbedakan dari ciptaan-Nya .
Roh (ruah, nafas Allah) adalah instrument dalam tindakan menciptakan pada awal mula dan dalam seluruh kesaksian Kitab Suci Roh Allah merupakan prinsip atau asal-usul kehidupan. Manusia dan mahluk hidup menerima hidup dari Allah dan ketika Roh Allah itu meninggalkan manusia dan makhluk hidup maka mereka akan mati . Roh Allah yang sama berperan dalam seluruh sejarah keselamatan dan kekuatan yang ada dalam seluruh umat Allah. Dalam kitab suci PL Roh Allah dan ciptaan merupakan dua tema yang tak terpisahkan satu sama lain. Seperti dikatakan Claus Westermann, ... hanya Dia yang aktif dalam segala sesuatu yang adalah Penyelamat. Karena Allah itu satu, maka Penyelamat adalah sekkaligus Pencipta. Dalam PL sejarah yang berawal dari tindakan penyelamatan Allah membentang luas mencakup kejadian asal usul segala sesuatu. Penyelamat Israel adalah Pencipta; Pencipta adalah Penyelamat Israel. Apa yang terjadi dalam ciptaan termaktub dalam sejarah Israel .
Para pemerhati lingkungan yang membatasi referensi teologis dari refleksinya pada Kitab Kejadian, mengabaikan rajutan yang kompleks dari konsep Ibrani tentang ciptaan dengan tema-tema lain. Von Rad menegaskan bahwa Israel peduli atau tertarik pada ciptaan bukan karena ciptaan dan problem yang ada padanya, tetapi karena sejarah . Pembacaan yang cermat tentang KS akan menemukan bahwa tema tentang ciptaan tak terlepas dari tema tentang sejarah, keselamatan, bangsa Israel, kebijaksanaan dan eskatologi. Tema ciptaan tersebar dalam seluruh KS tetapi agak terkonsentrasi dalam Mazmur, Para Nabi dan Sastra Kebijaksanaan.
Dalam bagian tengah Kitab Yesaya , di sana ditemukan bahwa Allah Pencipta dan Yahweh Pembebas dari Mesir adalah Allah yang aktif dalam sejarah manusia. Gerhard von Rad menegaskan bahwa dalam deutero-yesaya ini ciptaan bukanlah sesuatu yang ditambahkan. Penciptaan bahkan merupakan tindakan Allah yang paling awal dan saksi awal dari kehendak Allah untuk menyelamatkan. Itulah sebabnya, dalam deutero-yesaya kita menemukan bahwa Yahweh yang satu dan sama itu adalah sekaligius Pencipta dan Penyelamat Israel.
Karena penciptaan, penyelamatan dan eskatologi merupakan satu kesatuan, maka teologi-ekologi Kristiani juga menegaskan bahwa Allah terus hadir dalam sejarah manusia, menyempurnakan ciptaan dalam dan melalui karya keselamatan menuju kesempurnaanya pada akhir zaman. Interaksi Allah Pencipta dan ciptaan terus berlangsung. Abraham Heschel menegaskan bahwa pemikiran yang paling pokok dalam KS bukan penciptaan, tetapi pemeliharaan ciptaan oleh Allah. Sehingga dua hal ini terungkap dengan jelas dalam konsep: penyelenggaraan Ilahi dan tindakan Allah yang menyelamatkan. Dengan kata lain, relasi Allah dan manusia tidak terpisahkan dan terputuskan, juga relasi-Nya dengan ciptaan, dan relasi manusia dengan ciptaan.
Mengembangkan suatu teologi ekologi Kristen tidak mungkin tanpa mengacu kepada atau bahkan tergantung pada Kitab Suci PL. Sehingga kritik yang mendasarkan diri pada KS baik Hibrani maupun Kristiani juga tidak dapat ditolak, kendati menyimpulkan dengan mudah bahwa KS Hibrani dan Kristen mendaulat manusia sebagai penguasa dan karena itu menyebabkan krisis ekologi, juga terlalu berlebihan.
Refleksi KS Hibrani tentang ciptaan memperlihatkan, di satu pihak ada upaya melepaskan ‘jejak ilahi’ dari ciptaan, tetapi di lain pihak refleksi tersebut memperlihatkan kadar spiritual yang tinggi yang tidak dapat dengan mudah dimengerti oleh pembaca sekular modern. Kalau KS menyebutkan bahwa ciptaan memuji sang Pencipta, hal ini mengacu kepada adanya ‘nilai intrinsik’ pada ciptaan: KS menekankan dimensi spiritual dan estetis, yang tidak dapat dipahami secara material sebagaimana ada pada pemikiran modern. Karena itu gagasan KS tidak sejalan dengan gagasan modern.
Problem lain adalah tafsiran atas konsep “gambar dan rupa Allah” serta perintah “kuasailah bumi dan tundukkanlah”. Pembaca modern tidak memedulikan konteks spiritual dari perintah tersebut dan memahaminya hanya dalam pengertian bahwa bumi ada untuk kepentingan manusia. Padahal hal itu tidak dikatakan KS. KS berbicara tentang pelayanan serta pengabdian manusia kepada Allah, demi kehendak dan keinginan Allah sendiri. Dan manusia gagal dalam tugas ini. Kegagalan itu sudah ditampilkan sejak awal, dalam pertanyaan Kain, “Apakah aku penjaga adikku?”.
Konsep pelayanan dan relasi perjanjian terkait satu sama lain serta mengisi seluruh KS. Konsep “penguasaan” oleh manusia sebenarnya dimaksudklan sebagai pelayanan kepada Allah; bahkan manusia mesti menyerupai prinsip pelayanan Hamba Yahweh . Juga ditegaskan bahwa agar sungguh dapat melayani Allah maka manusia harus setia, cakap, disiplin. Kerelaan memberi, mengampuni, etc. Penguasaan bukan pekerjaan mudah, banyak kesulitan dan menuntut kerja keras. Karena itu mesti di bawah arahan Allah sendiri dan dikerjakan demi Allah, bukan diri sendiri.
Mengingat bahwa konsep ciptaan dalam KS bukanlah konsep yang lepas dari hal-hal lain, maka sikap manusia berkenaan dengan ciptaan juga tidak dapat dipisahkan dari tema-tema lain, terutama keselamatan. Benar Allah akan menyelesaikan dan menyempurnakan semuanya, tetapi manusia tidak dapat mengabaikan kehadiran tetap dan karya penciptaan yang terus menerus dikerjakan Allah melalui manusia, para pelayan-Nya. Yesus banyak kali men ggunakan perumpamaan tentang hamba yang setia melaksanakan kehendak atau perintah tuannya; serta kedapatan setia melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya ketika tuannya kembali. Lukisan KS tentang ciptaan itu adalah lukisan estetis, “Allah melihat semua baik adanya”, di sini ditampilkan “baik” estetis, bukan baik ekonomis; tidak dikatakan “Allah melihat semuanya baik untuk kebutuhan ekonomi manusia”.
Mandat yang diberikan kepada manusia, yakni “berkuasa”, berarti menjalankan tugas pelayanan: melihara keindahan ciptaan, distribusi yang adil dari apa yang disediakan Allah untuk semua manusia. KS memberikan banyak kesaksian tentang bagaimana manusia mesti melaksanakan tugas pelayanan kepada Allah itu. Tugas pelayanan itu mesti dijalankan sebagai gambar dan rupa Allah, karena manusia menjadi representasi Allah di hadapan ciptaan lainnya. Memang benar bahwa tulisan KS terlalu spiritual, sehingga sulit dipahami dengan tepat oleh pembaca masa kini, tetapi tidak berarti bahwa manusia masa kini mengabaikannya, karena bagaimana pun juga ekoteologi kristiani tidak dapat mengingkari bahwa Allah adalah Pencipta dan segala sesuatu adalah milik--Nya.
2. Mengikuti Yesus dan Komitmen Pada Ekologi
Tidak banyak orang memahami dan mendalami koneksi antara mengikuti Yesus dengan ekologi. Lebih mudah mengaitkannya dengan Allah, Pencipta, dibandingkan dengan Yesus Kristus. Bagi teologi adalah hal urgen untuk merefleksikan pertautan antara iman akan Yesus dengan soal ekologi sekarang ini, sehingga orang terbantu untuk menghayati dan menghidupi kesadaran bahwa kepedulian pada ekologi berakar pada iman akan Kristus dan bahwa tanggungjawab terhadap ekologi merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri sebagai pengikuti Kristus menuju suatu pertobatan ekologis.
Kitab Suci PB memberi kesaksian bahwa Yesus Kristus adalah kasih Allah yang mempribadi (inkarnasi Allah), sehingga Dia memperlihatkan belaskasihan, kepedulian, kasih serta pemeliharaan Allah pada ciptaan, terutama manusia. Yesus menegaskan bahwa kasih itu tanpa batas, karena kasih adalah Allah itu sendiri, segalanya dan mutlak. Kasih Allah yang tanpa batas itu terungkap dan terwujud penuh dalam diri Yesus dan diperlihatkan-Nya selama masa hidup-Nya. Kebangkitan memperlihatkan bahwa “kubur” sebegitu terbatas dan tak dapat merengkuh kasih dan belaskasih Allah itu, sehingga kebangkitan adalah suatu kekuatan dinamis pembebasan dan harapan baru tanpa batas.
Jemaat Kristen perdana mengamini dan mengimani penciptaan sebagai karya Roh Allah (Roh Kudus), sehingga kasih dan belaskasih Allah yang menyejarah dalam Yesus sekarang mejadi kekuatan dinamis yang menjangkau secara universal. Kasih Allah untuk dunia seluruhnya, untuk alam semesta, untuk segala sesuatu dan karena itu segala sesuatu dipersatukan dan diperdamaikan dalam Yesus Kristus.
Sudah sejak dahulu kala, orang-orang Kristen yakin bahwa kasih Allah itu tidak berhenti pada manusia. Paulus kepada umat di Roma menegaskan bahwa semua makhluk menantikan pembebasan dalam Kristus (Rm 8: 19 – 24). Pada akhir abad II, Ireneus menyatakan bahwa segala sesuatu dipersatukan dan diubah dalam Kristus dan berbagi dalam kemenangan Kristus atas kematian. Fransiskus Assisi pada abad ke-13 memperlihatkan bagaimana kasih Allah yang terwujud dalam Yesus itu merangkul segala sesuatu, binatang, burung-burung dan makhluk ciptaan sehingga semuanya menjadi saudara dan saudari. Teilhard de Chardin melihat evolusi sebagai sebagai proses yang bersumber pada kekuatan kebangkitan Yesus Kristus.
Orang-orang Kristen yang saat ini merefleksikan Yesus Kristus tidak dapat tidak tertantang untuk merefleksikan belaskasihan Allah bagi ciptaan yang saat ini nyaris punah dan hancur. Kenangan akan Yesus sekarang ini umumnya terungkap dalam liturgi dan perayaan-perayaan keagamaan, kendati dalam hidup-Nya, terutama dalam pengajaran-Nya Yesus menggunakan perumpamaan dari dunia ciptaan. Perumpamaan memperlihatkan dan menegaskan alam ciptaan sebagai sesuatu yang dekat dan tidak terlepas dari Allah, tetapi tempat Allah. Charles Dodd menyimpulkan bahwa perumpamaan-perumpamaan Yesus memperlihatkan adanya afinitas antara hal-hal material dan hal-hal spiritual . Perumpamaan tentang Kerajaan Allah memperlihatkan ciptaan sebagai anugerah dan tempat kehadiran Allah.
KS memberi kesaksian tentang kebiasaan Yesus yang berdoa seorang diri di tengah alam. Dan tradisi itu diteruskan oleh para mistikus Gereja. Alam menjadi tempat perjumpaan dengan Allah. Yesus mengawali tugas perutusaan-Nya dengan tinggal di tengah alam, di mana Dia dicobai Alam adalah tempat Dia berkomunikasi dengan Allah . Begitu juga menjelang akhir hidup-Nya, Ia berada di tengah alam berdoa kepada Bapa-Nya (Abba) Bagi Yesus Allah adalah Bapa umat manusia, yang memelihara, membahagiakan dan membebaskan manusia sehingga manusia memiliki pengharapan. Abba bagi Yesus adalah juga Pencipta, sehingga Dia adalah Allah bagi semua manusia dan semua ciptaan, yang memperhatikan dan memelihara burung-burung di udara dan bakung di ladang.
Pengalaman kebangkitan menjadikan segalanya baru, juga pemahaman komunitas perdana akan Yesus. Setelah kebangkitan mereka memaknai sejarah Yesus sebagai sejarah yang berawal pada Allah. Yesus adalah Allah yang memberi diri dan Allah yang berada bersama kita (Emmanuel) . Kepercayaan akan Yesus Kristus yang bersatu dengan Allah muncul pada masa awal komunitas Kristen di Yerusalem. Paulus mengungkapkan hal itu dalam suratnya kepada umat di Korintus . Paulus melihat bahwa segala seusatu memiliki dasar beradanya dalam Kristus bahwa Kristus tidak hanya menyangkut asal-usul segala sesuatu tetapi juga tujuan akhirnya. Segala sesuatu menemukan penebusan dan pembebasan dalam Kristus.
Dari manakah munculnya konsep Kristus kosmik ini? Cikal bakalnya ada dalam teologi Kebijaksanaan di mana komunikasi diri Allah diungkapkan atau disebut sebagai “sophia” (feminin) Wanita Bijaksana. Sophia ini bukan allah kedua, tetapi ungkapan tentang kehadiran dan tindakan Yahweh yang satu dan sama, Allah Israel. Ada dua ciri utama Kebijaksanaan (Sophia), pertama, ia terlibat dalam kejadian sleuruh ciptaan: bersama Allah, rekan Pencipta, dekat dengan Allah. Yang kedua, kebijaksanaan itu datang dan berdiam di tengah kita. Kebijaksanaan mencakup Dia yang di dalam-Nya diciptakan segala sesuatu dan Dia yang datang serta tinggal di antara kita.
Paulus, melawan klaim semua orang tentang kebijaksanaan, menegaskan bahwa Kebijaksanaan Allah nyata dalam Yesus tersalib . Ia menegaskan bahwa kebijaksanaan Allah nampak dalam hal-hal yang dipandang hina oleh manusia serta tidak berdaya. Matius juga mengingatkan bahwa kebijaksanaan Allah itu berdiam di tengah kita. Yesuslah yang melakukan dan melaksanakan penyembuhan dan pembebasan, adalah Kebijaksanaan yang kini datang dan mengundang kita: Datanglah kepada-Ku kamu semua yang berbeban berat dan letih lesu. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu.
Dalam Injil Yohanes, Yesus – Kebijaksanaan Ilahi, diwartakan sebagai Sabda yang menjadi daging. Ia diidentifikasikan sebagai seorang yang mengundang orang miskin dan kekurangan serta memberikan dirinya sebagai roti hidup.
Ada begitu banyak teks dalam PB yang menyerupai hymne tentang Kebijaksanaan. Dalam Kitab Ibrani, Yesus dilukiskan sebagai Kebijaksanaan, yang dengan perantaraan-Nya Allah menciptakan segala sesuatu. Yesus dilihat sebagai “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan” . Dalam Ibrani kita menemukan gema gagasan tentang Kebijaksanaan sebagai gambar Allah, “ia meluas dari ujung yang satu ke ujung yang lain, dan halus memerintah segala sesuatu”.
Dalam Injil Yohanes, Yesus disebut sebagai “Sabda”, tetapi Sabda itu tidak mulai dengan kehidupan historis Yesus, tetapi dilukiskan sebagai “berada bersama Allah” sejak semula dan aktif dalam penciptaan . Menurut Yohanes segala sesuatu yang ada dan diciptakan di dunia ini ada dalam dan melalui Sabda; Sabda kreatif yang abadi dan Sabda itu menjelma menjadi manusia dalam Yesus.
Contoh lain dari PB yang menegaskan Kristus kosmik adalah Kolose 1: 15 – 20. Di sini gambarkan bahwa Kristus kosmik itu adalah asal-usul (sumber) dan tujuan segala sesuatu. Segala sesuatu diciptakan dalam Kristus dan dipersatukan dalam Dia. Frase “segala sesuatu” seakan-akan menjadi refren tetap. Kebijaksanaan diidentifikasikan sebagai Kristus yang bangkit, segala sesuatu diciptakan dalam Dia, terus berada dalam Dia dan dipersatukan dalam Dia.
Dalam Kolose, wafat dan kebangkitan Kristus dipahami sebagai awal transformasi segenap ciptaan. Gagasan yang sama juga muncul dalam Efesus di mana ditegaskan bahwa segala sesuatu akan dipersatukan dalam Kristus yang bangkit. Dalam kitab Wahyu kita mendengar tentang “langit dan bumi baru”, di mana Yesus Kristus disebut sebagai “alfa dan omega”.
Akhir-akhir ini teolog feminis seperti Elisabeth Schüssler Fiorenza juga memberikan perhatian pada gelar Yesus sebagai “sophia” (Kebijkaksanaan Allah). Yesus adalah wahyu Allah yang tersingkap sebagai “feminin” (Sophia), yang menjadi pemicu gugatan terhadap gagasan “androsentris” tentang Allah. Apa yang mau ditegaskan di sini adalah bahwa Yesus Kristus bagi kita menjadi pintu masuk bagi Kristologi yang merangkum baik ekologi maupun feminisme; sehingga dalam Dia segala sesuatu dipadukan: pria – wanita; manusia dan makhluk ciptaan lainnya.
Bagi kita, mengimani Yesus Kristus dari Nazareth, Sabda Kebijaksanaan Allah, Putera Allah, mencakup baik pre-eksistensi maupun inkakrnasi. Dalam Yesus dari Nazareth kita berjumpa dengan Allah “beserta kita”, sungguh Allah dan utusan Allah. Kristologi-Kebijaksanaan menyampaikan juga hal pokok bahwa pre-existensi kebijaksanaan melampaui kategori manusia: ia bukan pria atau wanita, tetapi melampui keduanya. Tetapi

dalam inkarnasi, Allah dalam Yesus Kristus menjadi bagian utuh dari ekosistem dan bagian dari kesaling-terkaitan segala sesuatu. Teolog Denmark menyebutnya “deep incarnation” : dalam Kristus Allah masuk dalam kehidupan biologis; Allah masuk ke dalam segala macam bentuk ciptaan dalam keterbatasannya. Salib Kristus memperlihatkan identifikasi Allah dengan segenap ciptaan dalam kompleksitas, perjuangan dan penderitaannya. Konsep seperti ini tidak menyimpang dari tradisi iman iman Kristiani.
3. Gereja dan Persoalan Ekologi Kontemporer
Pendasaran teologis dan Kristologis di atas kiranya memberi kita inspirasi untuk memikirkan serta menata ulang kesadaran dan keterlibatan kita pada persoalan ekologi. Bagi pengikut Kristus kepedulian pada ekologi bukanlah suatu imperatif, perintah atau paksaan dari luar, tetapi sesuatu yang lahir dari iman akan Allah Pencipta dan Yesus Kristus, Tuhan dan Penebus.
Gereja mesti sungguh sadar bahwa ia menjalankan tugas perutusan Kristus agar keselamatan yang datang dari Allah mencapai dan merangkul semua orang serta segenap ciptaan. Keselamatan bukan perkara relasi manusia dengan Allah saja tetapi dengan segala sesuatu. Karena itu soal ekologi adalah soal iman, soal relasi dengan Allah, soal keselamatan. Taruhan kesejatian iman kita adalah keprihatinan dan kepedulian kita bidang ekologi.
Selain pertimbangan teologis dan Kristologis tadi, kepedulian Gereja juga dilakukan karena alasan keadilan: keadilan ekologis dan keadilan antar generasi. Keadilan ekologis mencakup perilaku manusia terhadap alam, sebagai subyek moral, bahwa alam berhak atas perlakuan yang mengembangkan kehidupan dan bukan merusak dan menghancurkannya. Persoalan ekologi adalah persoalan moral, menyangkut mutu atau kualitas personal manusia sebagai “gambar dan rupa Allah”. Merusak alam, tidak hanya suatu tindakan tercela terhadap alam, tetapi tindakan perendahan martabat manusia sebagai makhluk moral.
Tuntutan keadilan antar generasi juga menjadi penting untuk diperhatikan. Generasi yang akan datang berhak atas warisan alam semesta sebagai “ruang hidup” dan rumah kehidupan mereka. Apa dasar klaim bahwa kita berhak merusak dan menghabiskannya, sambil menyisahkan penderitaan , kemiskinan dan kelaparan untuk generasi mendatang.
Yohanes Paulus II, menyinggung bahwa kesejatian dari kebenaran relasi kita dengan Allah, terungkap dalam relasi dengan sesama dan alam. Saat ini konsumerisme menjadi pemicu eksploitasi alam . Karena itu mesti dikedepankan etika cukup (enough ethic), sehingga manusia bisa dan dapat mengendalikan diri dari sikap hidup konsumeris, karena kita tidak dapat semena-mena mengeksploitasi alam. Ada tiga pertimbangan yang perlu diperhatikan: pertama, manusia tidak bisa menggunakan sumber-sumber alam berdasarkan kemauannya sendiri, tetapi harus memperhatikan kodrat setiap makhluk dan ekossistem; kedua, sumber-sumber alam bukan tidak terbatas; ketiga, ekslpoitasi alam menyebabkan bencana alam dan bencana kemanusiaan, mulai dari polusi serta bencana-bencana alam lainnya, yang pada akhirnya merupakan bencana bagi manusia sendiri serta keberlangsungan kehidupannya.